Selasa, 18 Juni 2013

Kisah Sang Penjual Martabak

Assalamu'alaikum. Salam berbagai waktu dan suasana hati bagi para pengunjung yang mungkin hanya sekedar mengunjungi atau sangat antusias dalam menunggu entri dari blog ini.

Alhamdulillaah, Inspirasi kembali datang. Walaupun ini saya dapatkan Penjual Martabak dekat rumah saya. Semoga Entri ini enak dibaca dan bisa dimaknai,

Bismillaah.

Pada hari rabu malam, Sekitar jam 8 malam, saya baru saja pulang dari walimahan keluarga di Gedung Pernikahan yang cukup terkenal di Makassar. Sejenak setelah Shalat Isya, Orang Tua kedatangan tamu yang pergi tak dijemput, pulang tak diantar *eh maaf. Tamu tersebut ternyata keluarga jauh dari Kampung saya. Setelah itu, saya ke dapur dengan niat ingin membuatkannya sajian, namun apadaya, persediaan di dapur tinggal sedikit. Setelah kejadian yang luar biasa itu (baca : habis stok), saya bergegas pergi untuk membelikan sedikit hidangan agar dapat menemani diskusi kangen dari tamu bersama dengan orang tua saya. Entah mengapa, langsung saya pergi ke Penjual Martabak dekat rumah.



Tiba di sana, saya bergegas memesan tahu isi kepada penjual martabak tersebut. Sontak penjual tersebut kebingungan dan bergegas membeli tahu yang ternyata dari penjual sebelah. Catatan : Mohon maaf ya, kalimat sebelumnya cuma intro yang tidak jelas. Saat itu saya langsung memesan Martabak manis, yang biasa dikenal dengan istilah Terang Bulan. Dengan sigap, sang penjual mulai menuangkan adonan ke tempat pemanggang yang telah dipanaskan sebelumnya. Iseng-iseng, pada saat itu saya ajak sang penjual bicara dengan saya berhubung pelanggan yang lain telah terpuaskan (baca:pulang) dan tinggal saya seorang yang bertindak sebagai pelanggan terakhir, dengan asumsi tidak ada lagi pelanggan lain yang atang di saat penjual mengeksekusi pesanan saya.

Percakapan pun dimulai, "Mas, sudah berapa lama jualan di sini? Baru saya lihat mas jualan di sini." Iseng saya untuk menghilangkan rasa bosan. "Baru sebulan lebih pak kalau disini, mungkin selama menjadi penjual, sudah hampir dua tahun pak." Respon penjual. Kemudian saya heran, kenapa sang penjual memanggil saya pak. Ternyata akibatnya dari Baju yang saya kenakan dari Walimahan beberapa jam yang lalu. Saya pun melanjutkan pembicaraan, "Mas kalau jualan, biasa siapa yang bantu? Karena biasa saya lewat, mas sendirian yang ada di sini." . "Iya, memang biasa saya sendiri di sini. Walaupun sendiri, Pelayanan tetap dimaksimalkan." Seru penjual sambil tersenyum. Pikirku hebat sekali ini penjual, kalau banyak pelanggannya, bisa-bisa kewalahan melayani para pelanggan satu per satu. Penjual pun melanjutkan sambil memegang pundak perempuan di sampingnya, "Ini, Dia juga biasa bantu saya untuk menjalankan usaha ini, walaupun tidak setiap hari." Saya pun lanjutkan pembicaraan, "Istrinya ya mas? Kelihatannya kompak sekali." Spontan penjual itu mengatakan, "Haha, Ini baru calon pak. Insya Allah setelah lebaran, kita akan menikah pak. Ini lagi nabung untuk pernikahan kita nanti." Kemudian saya sejenak terdiam. Kemudian saya melanjutkan "Wah, kirain istri mas. Sepertinya klop sekali." "Alhamdulillaah kalau terlihat seperti itu pak." Teringat pembicaraan begitu aneh, karena saya dipanggil 'Pak', maka langsung saya minta tolong jangan panggil saya pak, karena terlihat sang penjual lebih tua dari saya.

Lanjut-lanjut pembicaraan, ternyata sang penjual baru-baru lulus (awal tahun 2013) di Universitas dekat dengan rumah. Pembicaraan terus berlanjut, hingga martabak yang saya pesan menjadi gosong *waduh, bercanda lagi. Setelah kurang lebih 15 menit berbicara dengan sang penjual, pesanan saya telah selesai dan sang penjual langsung mengeluarkan telepon genggam miliknya dan meminta nomor telepon saya sambil berkenalan nama, dan saling bertukar nomor telepon. Ternyata Sang penjual bernama Andi dan Perempuan di sebelahnya bernama Ria. Di akhir pembicaraan pada hari itu, sang penjual berkata "Hubungi saya ya mas kalau mau pesan di sini, lalu langsung saya buatkan. Jadi kalau mas datang, langsung jadi deh." Respon saya, "Iya mas, tapi tidak enak juga kalau pelanggan yang lain antri baru saya pesannya lewat telepon." Lanjut sang penjual, "Kalau dipikir-pikir betul juga sih mas. Oh iya, Insya Allah kami undang mas untuk datang di pernikahan kami nanti ya. Nanti saya kabari mas." Akhir percakapan saya lanjutkan "Wah, terima kasih banyak mas, Insya Allah saya terima undangannya. Saya permisi dulu ya mas." Akhirnya saya meninggalkan kedai Martabak tersebut dan tidak membayar apa yang saya pesan. *haha, bercanda yah.

Nah, itulah tadi kisah saya dengan sang Penjual Martabak dekat rumah yang sedang menantikan hari yang Insya Allah membahagiakan baginya dan pasangannya. Singkat namun langsung menjalin hubungan pertemanan yang tentunya mengakrabkan.

Semoga para pengunjung tidak kecewa dengan apa yang saya tulis, karena dibuat sedemikian rupa demi kenyamanan anda membaca. Dan semoga para pengunjung dapat mengambil hikmah positif dari kisah ini.

Terima kasih sebanyak-banyaknya dan salam hangat karena kopi instan yang dijadikan minuman dingin.

Wassalamu'alaikum.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar